Part 34. Kota Khoir dengan segala halnya

Etsectra

--

Rumah yang jaraknya agak jauh dari kota, menjadi pilihan yang tepat sebagai tempat tinggal. Tidak ada tetangga yang mengganggu ataupun suara kendaraan berlalu-lalang. Tampaknya, kalau rumah ini dilewati oleh manusia biasa, mereka akan menganggap rumah ini rumah berhantu atau rumah tidak berpenghuni. Padahal, di dalam rumah itu terdapat satu penulis takdir yang siap membentuk dan mengubah takdir manusia-manusia di bumi.

Seseorang keluar dari pintu rumahnya. Tampak anak muda yang terlihat berumur belasan tahun berdiri di depan pintu sambil memakai tas selempang kecil dan menggenggam ponsel di tangannya. Tangan satunya sibuk mengunci pintu rumah itu. Tampaknya dia mau pergi.

Langkah kakinya berjalan ke arah belakang pekarangan rumah, semakin jauh, semakin mendekati hutan.

Langkahnya terhenti saat dia sudah berada di antara pohon-pohon tinggi. Muncul sinar berwarna biru membentuk lingkaran di depannya. Pria itu menghela napasnya kasar lalu masuk ke dalam lingkaran itu.

Sinar itu hilang dan kemana dia pergi?

Cahaya putih menghilang di belakang punggung Rendi. Pemandangan di depannya berubah. Tubuhnya sekarang berada di tempat lain.

Rendi menghirup udara Khoir dalam-dalam. “Huft, bau pejabat haus kekuasaan.”

Ilustrasi bukan milik pribadi. Ilustrator: Gal Barkan, Instagram: gal.barkan

Khoir tidak jauh berbeda dengan saat terakhir kali dia menginjakkan kaki di sini. Hutannya masih asri dan dari jauh dia bisa melihat beberapa kuda bertanduk berlarian di padang rumput. Ia jadi teringat dulu ia sering menunggangi kuda sejenis itu bersama dengan ayahnya. Rendi sangat suka berpetualang dengan alam. Dia mencintai makhluk hidup dan hewan. Hal itu ia dapatkan karena ayahnya suka mengajak Rendi berpetualang di hutan. Sungguh masa lalu yang indah untuk dikenang.

Rendi berjalan kaki, menuju jalan raya. Ia sengaja tidak membuka portal dekat dengan pusat kota atau langsung menuju apartemennya. Ia ingin mengenang beberapa kenangan yang pernah ia lakukan selama ayah dan ibunya masih hidup.

Sudah sekitar 15 menit Rendi berjalan menikmati indahnya pemandangan Khoir. Ia bertemu dengan halte bus. Rendi memutuskan untuk menaiki bus. Jarak menuju kota masih sangat jauh sekali. Jika ia berjalan kaki maka ia harus menempuh waktu sampai malam.

Rendi duduk di kursi halte. Sambil menunggu, ia mengetikkan sesuatu di ponselnya. Mengabarkan kabar kedatangannya kepada teman-temannya. Reaksi mereka sesuai dengan perkiraan Rendi, mereka kaget. Teman-temannya pasti heran angin apa yang berhasil membawa Rendi kembali pulang ke Khoir.

Sebuah bus berwarna putih kebiru-biruan datang. Bus itu melayang. Ukurannya tidak sebesar bus di bumi, hanya seukuran mobil biasa. Bentuknya seperti kapsul, lebih cocok disebut kapsul terbang daripada bus melayang. Bus itu berhenti dan mendarat di depan halte. Rendi berjalan masuk kedalam. Tidak perlu menggunakan kartu sebagai pembayaran. Bus otomatis akan melakukan scan pada setiap individu yang masuk ke dalamnya. Dan otomatis saldo rekening akan terpotong.

Tidak ada satupun orang di dalam bus, termasuk supir. Hanya ada Rendi sendiri di dalamnya. Baguslah hari ini Rendi hanya ingin menikmati perjalan dengan tenang tanpa adanya gangguan dari penduduk Khoir. Bus kemudian berjalan secara otomatis dan melesat menuju halte selanjutnya.

Selama di perjalanan Rendi memandangi pemandangan kota Khoir. Kota ini semakin dilengkapi oleh robot canggih. Gedung-gedung dipenuhi dengan jendela besar dan taman warna-warni yang indah. Papan reklame melayang turut menghiasi setiap sudut kota. Selokan bersih yang dipenuhi dengan ikan-ikan melompat. Air selokan itu sangat jernih sehingga lebih cocok disebut sungai.

Saat lampu merah menyala, beberapa kendaraan melayang di atas, di samping, dan dibawah bus. Ada kendaraan pribadi, transportasi umum, hingga seseorang yang menaiki papan seluncur miliknya. Sepertinya pengendara papan seluncur itu adalah seorang siswa yang baru berangkat sekolah.

Rendi dapat melihat dengan jelas dari dalam bus beberapa warga Khoir yang sibuk dengan kegiatan mereka. Kafe yang dipenuhi oleh pembeli menarik perhatian Rendi. Di luar kafe itu terdapat proyektor yang memunculkan berbagai gambar makanan yang bisa dilihat oleh pengunjung. Terlihat ada anak kecil yang memainkan proyektor tersebut dan pemilik kafe langsung keluar lalu mengomelinya. Oh ternyata anak itu adalah anak si pemilik kafe yang seharusnya membantu ibunya. Ibu itu langsung menjewer telinga anak laki-laki itu masuk ke dalam kafe. Rendi sedikit tertawa melihat nasib anak kecil itu.

Rendi teringat saat ia kecil ibunya akan mengomelinya atau menjewer telinganya apabila ia sudah berulah. Setelah itu ia akan menangis tersedu-sedu dan berkata tidak akan mau makan. Tapi walaupun begitu ibunya adalah orang baik. Ibunya akan diam-diam menaruh makanan di kamarnya saat Rendi pura-pura tertidur dibalik selimutnya. Kemudian Rendi akan terbangun dan memakan habis makanan itu diam-diam, takut ibunya tahu dia sudah selesai menangis.

Rendi sampai di Noor.

Noor adalah gedung tempat para penulis takdir bekerja. Noor telah menghasilkan banyak penulis takdir berbakat. Beberapa di antaranya mengabdi menjadi pejabat publik sementara yang lainnya tetap setia menjadi penulis takdir.

Rendi melangkah masuk ke dalam Noor. Tidak ada banyak perubahan signifikan dalam gedung ini. Hanya cat dan beberapa teknologi aneh yang Rendi tidak pahami. Rendi menuju meja resepsionis. Bukan warga khoir yang berjaga. Namun, layar LED televisi besar yang menyapanya.

“Selamat datang kembali ke Noor tuan Renjana Akhilendra. Sudah lama tuan tidak datang kembali ke kota ini. Apa ada sesuatu yang bisa saya bantu tuan Renjana?” Layar itu menunjukkan gambar perempuan AI yang tersenyum. Menurut Rendi itu jelek sekali.

“Dimana ruangan milik Nandina?” tanpa basa-basi Rendi langsung bertanya. Ia malas berhadapan dengan AI jelek ini.

“Apa sebelumnya tuan memiliki janji dengan nona Nandina? Karena beliau saat ini sedang tidak ingin diganggu. Beliau memiliki kesibukan…”

Rendi memotong ucapan AI itu “Dia pasti gak sibuk kalau saya yang datang. Sudah cepat kasih tau dimana ruangannya? Saya gak punya banyak waktu.”

“Baiklah beliau berada di ruangan 1301, lantai 10 gedung ini,” jawab AI itu.

“Terimakasih.” Rendi langsung meninggalkan meja resepsionis dan menuju lift.

Rendi sampai di lantai sepuluh. Ia berdiri tepat di depan pintu yang bertuliskan 1301. Rendi menarik napasnya dalam. Perlu mental yang kuat untuk berhadapan dengan wanita itu nanti.

Rendi mengetuk pintu dua kali. Pintu terbelah menjadi dua. Ia langsung melangkahkan masuk ke dalam ruangan.

Seorang wanita berkacamata yang masih terlihat seperti berumur dua puluh lima tahun duduk di kursi. Ia sibuk membaca hologram layar di depannya. Wanita itu menyesap kopinya dengan tenang lalu menatap tajam Rendi. Rendi sudah tahu hal ini akan terjadi.

“Mau apa kamu kesini?” Wanita yang berambut lurus panjang dan berwarna coklat kemerahan itu menyenderkan bahunya. Rendi meyakini wanita ini semakin sering mengganti warna rambutnya.

“Aku mau langsung to the point aja sama kamu. Apa kamu yang udah merubah takdir hidup salah satu manusiaku?” tanya Rendi.

Wanita itu menyeringai. Sudah bertahun-tahun tidak bertemu sifatnya masih sama saja. “Kamu baru datang sudah menuduh saya?”

“Siapa sih yang nuduh? Cuma nanya aja.” Jawab Rendi tidak terima.

Rendi kemudian duduk tanpa dipersilahkan. “Sekarang aku tanya sama kamu Nandina. Kalau ada manusia yang kamu tulis sendiri kehidupan takdirnya, kamu tau jalan hidupnya bagaimana, terus tiba-tiba dia malah suka sama kamu, kamu gak bisa baca masa depan dia, gak bisa baca pikiran dia, memang masuk akal? Enggak kan.”

“Kamu bisa baca pikiran?” tanya Nandina dengan mata tajamnya.

Rendi mengatupkan rahangnya. Sial, rahasia yang ia jaga selama ini terbuka lebar. Dia harus mencari alasan. “Iya, tapi cuma manusia yang aku tulis sendiri takdirnya. Kenapa? Bukannya semua bisa?”

“Saya gak bisa. Semuanya gak bisa. Gak ada yang bisa melakukan hal itu. Sejak kapan kamu bisa?” Fakta baru ini perlu diketahui oleh Nandina.

“Gak tau sejak kapan, udah lupa,” jawab Rendi asal. “Udahlah itu gak usah dibahas. Gak penting. Masalah sekarang jauh lebih penting.”

Nandina melepas gagang kacamatanya. Ia tahu, akan sulit mengajak Rendi berbicara jika sudah seperti ini. “Saya gak peduli urusan kamu dengan takdir manusia yang kamu tulis.”

Rendi mengerutkan keningnya.

“Saya sudah capek berulang kali berusaha supaya kamu kembali ke Khoir. Tapi saya rasa kamu gak pernah benar-benar peduli dengan negara ini. Coba sekarang kamu lihat? Saya pikir kamu datang untuk merubah pikiran kamu. Ternyata kamu datang hanya untuk memikirkan takdir salah satu manusia yang tidak seberapa penting itu.”

Nandina tersenyum miris. “Saya udah janji sama kakak saya untuk mengembalikan Khoir seperti dulu. Saya juga berjanji untuk tidak meninggalkan kamu dan melindungi kamu. Saya juga berjanji akan siap membantu kamu untuk melawan pejabat negeri ini. Saya harus apa? Kalau yang dilindungi dan dijaga tidak percaya dengan saya?”

Rendi menatap Nandina. Dia lelah harus mendengar ucapan ini. “Aku gak minta kamu buat jaga dan lindungin aku. Buang aja semua janji kamu itu. Orang yang kamu janjikan juga udah gak ada.”

“Renjana!” Nandina membentak Rendi.

“Kenapa? Salah omongan aku? Aku tau kamu capek. Sama aku juga. Aku ataupun kamu gak akan bisa ubah apa-apa. Lagian selama ini Khoir baik-baik aja kan? Gak ada yang mereka otak-atik,” ucap Rendi santai. Padahal dia dengan jelas tahu apa yang direncanakan oleh para pejabat itu.

Nandina menatap Rendi. “Baiklah. Kalau itu mau kamu.”

“Dimana naskah tulisan takdir manusia yang aku buat? Kamu termasuk petinggi di Noor. Kamu pasti tau dimana semua naskah itu.”

“Gak ada disini. Semuanya di simpan di arsip negara.”

Rendi mengernyit. Kalau begini sudah susah urusannya.

“Bagaimana? Mau berubah pikiran Renjana?” Nandina menaikkan alisnya.

Rendi terdiam menatap Nandina. Rendi bangkit dari kursinya. Dan pergi ke luar ruangan tanpa sepatah kata apapun.

Nandina tersenyum penuh kemenangan. Bukan, ini bukan ulah Nandina. Tetapi siapa sangka hal ini bisa terjadi? Ia yakin dalangnya merupakan pejabat pemerintah Khoir. Ia tidak tahu apa alasan dibaliknya. Namun, bisa ia pastikan setelah ini mau tidak mau Renjana akan mau berubah dan menjalankan tugas yang seharusnya ia lakukan sejak lama. Sudah saatnya Khoir bertemu dengan pemimpinnya.

Rendi membuka pintu apartemen miliknya. Percakapannya dengan Nandina sama sekali tidak membuahkan hasil. Harusnya dari awal dia tidak usah datang ke Khoir. Percuma, Nandina tidak akan membantu apa-apa kecuali dia menuruti kemauan perempuan itu.

Rendi masuk ke dalam kamarnya. Ia merebahkan kepalanya di kasur apartemen miliknya yang sudah lama tidak ia tiduri. Sambil menatap pantulan sinar matahari di atap kamarnya, ia memikirkan apa penyebab masalah ini bisa terjadi. Ia merasa permasalahan inimerupakan suatu hal yang penting. Ini tentang, apa yang akan terjadi di masa depan apabila karakternya melenceng dari garis takdir yang sudah ia tentukan. Akan muncul masalah baru lainnya yang akan menyeret seluruh penulis takdir di masa depan. Hal ini tidak bisa ia biarkan begitu saja.

Ada kemungkinan seseorang telah mengubah naskah tulisan takdir yang ia bentuk. Tetapi Rendi teringat hanya Rendi yang dapat mengubah garis takdir manusia miliknya sendiri. Kalau pun ada yang bisa merubah naskah miliknya, bisa dipastikan orang itu adalah moirai keturunan kerajaan. Sama seperti dirinya. Masalahnya selama seumur hidupnya tidak ada moirai keturunan kerajaan lain selain dirinya.

“Gak mungkin ada moirai lain. Cuma gue satu-satunya anak ayah ibu. Apa gue punya saudara terpisah? Atau gue kembar? Ah gak mungkin. Mereka pasti jujur soal ini.” Rendi bermonolog di kamarnya sambil berguling-guling di atas kasurnya.

Tiba-tiba terdengar suara pintu bel. Rendi langsung beranjak dari kasurnya dan bergegas membukakan pintu. Walaupun pintu dapat terbuka otomatis, baginya mempersilahkan tamu masuk itu adalah basic manner yang perlu diterapkan.

“RENJANA GUE KANGEN BERAT SAMA LU!!!”

“WOI LU MASIH HIDUP TERNYATA!”

Baru saja pintu dibuka sudah ada dua orang yang menerobos masuk dan langsung lompat memeluk Rendi.

“Sumpah lu berdua minggir dah! Woi Fidel kaki gue anjir! Saddam lu gak usah dorong-dorong gue mau jatuh anjir.”

Terlambat. Rendi, Fidel, dan Saddam sudah jatuh ke lantai.

Seorang temannya yang memakai setelan kemeja dan celana berwarna hitam hanya bisa tertawa. Dibawanya buah apel ke atas meja ruang tamu. Pria itu bernama Owen.

“Lu ngapain bawa buah? Gue lagi gak sakit.”

“Yeu, bersyukur lu masih gue bawain. Lu lihat temen lu tuh bawa apaan.” Owen mengarahkan dagunya kepada Edzar yang menenteng dua buah botol minuman alkohol.

Pria yang menggunakan kemeja putih dengan vest berwarna hitam itu terkekeh. “Ini gue taruh sini ya,” ucapnya kemudian menaruh botol minum haram tersebut di samping apel.

Rendi bangkit berdiri. “Ilias mana?” matanya mencari batang hidung sahabatnya yang pendiam namun super bawel itu.

“Biasa lagi parkir. Kan dia kalau bareng kita part time jadi supir,” jawab Fidel. Pria berhoodie abu-abu muda itu sudah merebahkan badannya di sofa milik Rendi.

“Siapa yang ngomong gitu?” Terdengar suara dari balik pintu apartemen.

Fidel langsung menunjuk Saddam yang sudah sibuk mengunyah apel. Saddam langsung melotot.

“Kok gue? Dia!” Saddam menunjuk Fidel balik.

“Hoax lu,” sahut Fidel.

“Elu itu mah,” balas Saddam.

Rendi hanya bisa memutar bola matanya. Ia malas melihat kedua bocah itu berdebat. Lebih baik ia ke dapur dan menyiapkan makanan untuk mereka berdua. “Mau pada mau makan apa?”

“Gak usah gue bawa pizza.” Ilias meletakkan pizza ke meja ruang tamu. “Gue tau lo gak ada bahan makanan.”

“Baguslah pada tahu diri,” balas Rendi. Ia langsung menggeser badan Fidel yang sudah mengambil penuh seluruh sisi sofa. “Minggir gue mau duduk!”

“Eh iya lo kenapa tiba-tiba pulang? Ini gue seriusan nanya sumpah.” Owen langsung membuka pertanyaan itu. Semua orang tahu Rendi tidak akan pulang kalau bukan karena hal penting.

“Gue lagi kerja langsung buru-buru keluar nyari Ilias. Saking gue gak percayanya,” lanjut Owen dengan wajah sok dramatisnya itu.

Ilias yang sedang duduk di kursi meja bar Rendi langsung menyahut. “Gara-gara dia kopi gue jatuh hari ini. Untung di kantor ada baju cadangan.”

“Maaf pak gak sengaja namanya juga kaget.” Owen terkekeh.

“Gimana ya gue jelasinnya. Gue yakin lo semua gak akan percaya ini.”

“Apa emangnya?” tanya Edzar.

“Jana suka sama gue.”

“ANJIR?!” ucap Owen.

Saddam terbatuk-batuk. “Ohok ohok”

“Eh eh tolongin bocahnya keselek apel.” Fidel menepuk-nepuk tengkuk leher Saddam.

“Aduh lu makanya jangan makan dulu. Jadi putri salju kan lu.” Edzar memberikan botol air alkohol yang tadi ia bawa. Botol itu langsung ditepis oleh Fidel.

“Goblok,” ujar Fidel pada kawannya itu.

Ilias mengernyit heran. “Lo serius apa bercanda?”

“Emang muka gue kelihatan kayak orang bercanda?” Semua anak menatap Rendi tidak percaya. Rendi tidak mungkin berbohong.

“Kok bisa?” tanya Edzar. Rendi mengangkat bahunya. Ia juga belum menemukan jawaban atas hal ini.

Semuanya diam. Mereka sama-sama bingung. Tidak tau apa yang harus diperbuat.

“Nandina gimana?” tanya Ilias.

“Ya begitulah dia gak bisa bantu apa-apa,” jawab Rendi.

“Ah dia mah emang pelit,” sahut Saddam. Ia teringat terakhir kali ia minta kenaikan gaji tapi ditolak oleh Nandina.

“Terus sekarang apa yang mau lo lakukan?” Tanya Ilias sekali lagi.

Rendi terdiam. Ini sebenernya ide gila. Tapi kalau bukan ide ini, ide apa lagi yang harus ia lakukan?

“Gue mau ke gedung pusat pemerintahan. Terus gue minta naskah gue.”

“Kalau mereka gak mau?” Tanya Ilias. Ia memastikan sahabatnya ini punya opsi kedua apabila rencananya tidak berhasil.

“Gue bobol pintu ruangan. Terus gue ambil paksa naskah gue. setelah itu gue kabur. Gampangkan?”

Fidel menepuk-nepuk pundak Rendi sambil tersenyum bangga. “Ternyata lo lebih goblok dari dugaan gue.”

Rendi kembali membuka portal. Teman-temannya berdiri di belakangnya. Setelah percakapan panjang yang isinya tidak penting. Rendi memutuskan untuk kembali dan melihat sejauh mana perubahan yang terjadi pada Jana.

“Udah lu balik aja ke bumi gih. Ide lu jelek semua.” Fidel mengusir Rendi.

Rendi mendengus kesal. Padahal kelima temannya itu juga sama saja. “Ide lo juga jelek ya.”

“Sekarang lo balik, lo tulis semua hal-hal aneh yang ada di Jana. Gue gak mau handaru jadi jomblo gara-gara lu ya,” ujar Edzar kepada temannya.

“Yang sabar ya Ren, hidup emang gak ada yang tau,” ucap Owen menghampiri Rendi.

“Hm iya-iya. Gak usah pegang-pegang gue bisa pulang sendiri!” Rendi menepis tangan Owen yang hampir memeluknya. “Ya udah gue pamit. Nanti gue infoin kalian kalau ada hal penting.”

“Iya hati-hati Ren dimakan buaya!” Sahut Saddam.

“Goblok,” balas Fidel menoyor bahu Saddam.

Rendi terkekeh kemudian berjalan menuju lingkaran portal yang berbentuk sama dengan kemarin.

--

--

No responses yet

Write a response